• PENTINGKAH MEMBACA GERAKAN LITERASI NTT?

    Mendiskusikan pendidikan NTT harus memberikan ruang penuh bagi gerakan literasi. Mengapa? Karena literasi memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, secara khusus di NTT.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

TUHAN ITU NYATA

 



By: Alfa
Siswa SMA Katolik Giovanni Kupang
-----------------------------------------------------


Aku tahu hidup bisa membingungkan, 
itu penuh dengan naik turun. 
Itu tidak berarti Tuhan tidak nyata




Tuhan itu Nyata

https://www.youtube.com/watch?v=HISwchTV7DM





Ikuti Expose News Youtube Chanel dengan cara subcribe, share, like dan koment
silahkan klik link di bawah ini:




Share:

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 77

Share:

BERSAMA MARIA KITA RENUNGKAN ROSARIO SUCI

Share:

KEBAIKAN DAN SURGA

 










Lakukan kebaikan sekecil apapun 
karena kau tak pernah tahu kebaikan apa 
yang akan membawamu ke surga.


by: Yanti
Inspirasi siswa SMA Katolik Giovanni Kupang






Share:

DIALOG SEPI (2)



Oleh: Y. B. Inocenty Loe, S. Fil

Staf pengajar SMAK Giovanni Kupang, Editor dan Formatur Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT

 ------------------------------------


Apa yang terberi, seperti angkasa yang rapuh oleh bintang di malam hari. Jika pemberian itu adalah kerapuhan yang diisi di dalam kebaikan, jiwa ini adalah bukti kekudusan, yang dimengerti dunia sebagai sepengal mozaik, cerita Tuhan di dalam penderitaan. Mozaik ini, oleh iman dihayati sebagai bejana tanah liat yang bisa saja rapuh dan kita terperangkap di dalam rasa yang sama yaitu perjuangan.


Aku diam. Mata menatap kosong dan hati merenung. Aku hanya tak mengerti apa itu kata di dalam waktu. Apakah itu, dialog sepi? Yah, bisa saja, waktu adalah nyanyian hari yang mengingatkanku akan kata yang kau ucap. Jika pada samudera, ada keheningan yang takterbatas maka di tepian lautan aku mendengar kisah cinta Tuhan bagi hidupku. Yaitu di saat kata tak sanggup mengucapkan doa, ciuman lautan pada pasir mengigatkanku akan jiwa yang disapa roh, sang kudus. Atau seperti lautan yang tak mengering bahkan mempersempit daratan, aku menemukan keegoisan diri di dalam kerinduan akan Tuhan. Misteri kata yang terucap di dalam waktu, mungkin hanyalah lumpur pada tembok, tak menghancurkan tetapi memberi bekas. Dan untuk itulah aku ditakdirkan. Untuk memahami kata dalam waktu bukan sebagai fakta duniawi tetapi sebagai ekspresi terbatas dari yang takterbatas. Kata di dalam waktu adalah ciuman tak tersentuh antara aku dan engkau.


Mungkin benar bahwa kau keliru memahami diriku, tetapi setidaknya, kata yang telah terucap di dalam waktu mampu membuatmu mengerti, seperti suara burung gereja menyadarkanmu dari buaian ketaksadaran. Dan ketika kesadaranmu adalah tentang kegelisahan yang sempat mencuat di dalam mimpi karena takut kehilangan diriku, izinkanlah aku mengukirnya bukan di dalam lembaran berdebu tetapi di sini, di hatiku. Sebab untuk itulah aku hadir bagi dirimu, bukan untuk menyapamu dalam nama diri tetapi dalam nama keabadian waktu, yang oleh udara disebut sebagai cinta tanpa berhenti berhembus. Aku adalah Tuhan yang memelukmu di dalam keterbatasan dan kelemahan manusiawi. Dan lagi-lagi, oleh cinta yang dititipkan Tuhan, aku hanya punya seulas senyum yang dapat kuberikan untuk dirimu. Itulah cintaku, yang terbatas dari yang tak akan pernah terbatas.


Yang terbatas adalah diriku tetapi Tuhan adalah ketakterbatasan. Padanya, aku mencintaimu dengan cara yang terbatas. Bukan lagi dalam hidup yang pasti berakhir tetapi di dalam kematian yang tak pernah berujung. Jika cintaku padamu, adalah dunia kematian yang tak ada kematian, maka izikanlah kukecup dirimu di kehidupan ini dan biarkan membekas hingga tanganmu kugenggam di dalam pelukan Tuhan. Aku yang pernah menyakiti hatimu, itu karena aku adalah pencinta ilahi yang terperangkap di dalam kemanusiaan. Memelukmu di dalam kefanaan tubuh dan mencintaimu di dalam keterbatasan jiwa.


Seandainya aku adalah waktu, biarkan kuukir kata di dalam diriku dan ketika pagi membangunkanmu, kau akan tetap mengingat diriku di setiap saat dalam hidupmu. Seandainya engkau adalah kata di dalam waktu itu, aku hanya punya telinga yang tidak sanggup mendengar dan mata yang tidak sanggup menengok tetapi aku punya hati yang akan tetap mencintaimu di dalam sekian terbatasnya tubuh mengungkapkan ekspresi. Biar aku adalah rasa yang terbatas tetapi aku akan selalu membisikan cinta di dalam cerita hidupmu dan mengukir di hatimu dari lumpur hidupku. Kau adalah Tuhan yang menyapaku di dalam kemanusiaanmu.

 


Share:

BERDIRI DIAM




Terkadang kamu harus berdiri diam, 
agar bisa bergerak ke tempat yang Tuhan inginkan  

by: Juan Pukan







 

Share:

PELANTIKAN PRAMUKA 2022

 




Share:

KATA DALAM WAKTU

Foto: Y. B. Inocenty Loe


Oleh: Y. B. Inocenty Loe

Staf pengajar SMA Katolik Giovanni Kupang, Editor dan Penulis

----------------------------------


Di mana pun engkau berada, rasakanlah waktu ini sebagai yang terakhir dalam hidup kita. Setiap detik, menit bahkan tahun, dengarlah suaraku walau kita jauh. Bukankah cintaku adalah suara yang selalu terdengar di hatimu? Setidaknya waktu akan mengingatkanmu tentang suara cinta yang selalu terdengar dalam hidupmu. Bukankah waktu kita adalah jiwa abadi di dalam kerapuhan dan keterbatasan? Percayalah bahwa waktuku takkan membiarkanmu berjalan sendiri, sebab  adalah jiwa yang selalu mengingat dirimu di dalam sekian buruknya hidup ini.


Di tebing waktu, aku termenung, mengukir cinta dan kisah ini pada bulan. Aku berharap pada keabadian jiwa, semoga waktu kita adalah cahaya pada gelap, sebelum langit menjadi mendung antara kelam dan terang. Waktu ini adalah cinta yang akan selalu menyapamu dan membiarkanmu menjadi semakin polos. Adalah hari tanpa kata, jika kita bisa saling mencintai. Adalah mimpi tanpa akhir, jika kita bisa saling meresapkan kenyataan.


Malam itu, aku menatapmu dalam cinta. Tatapanku adalah jiwa dari jiwa dan waktu dari waktu. Tulusnya jiwa tak mampu mengukur ketulusan cintaku demikianpun misteri waktu hanyalah secuil detik yang tak berarti di depan kebesaran cintaku. Dalam tatapan, aku tak membawa harga sebuah dunia tetapi harga kehidupan ini. Tatapanku adalah kesetiaan dan roh kebenaran yang akan selalu memelukmu. Ia adalah hirarki sempurna diri ini yang rela untuk tetap setia dalam perdebatan cinta yang selalu kulalui. Dan aku adalah tatapanku yang akan selalu mengecap cinta ini walau jarak menghambarkan semuanya.


Memang benar tatapanku adalah segalanya. Namun, suaramu telah menyanyat hati ini dan mengisi tiap lukanya dengan cinta. Oleh suara yang telah menyakinkanku atas cinta ini, untuk pertama kalinya, aku merasa tak sendirian. Suaramu seolah mengubah gelapnya malam menjadi terang. Jika tatapan mampu mencurahkan seluruh kehidupanku, engkau punya suara yang mengangkat tiap keraguan cinta yang kualami. Malam itu, ketika aku gelisah oleh penantian cinta, suaramu merangkai dan menyakinkanku bahwa ketulusan mampu mengukir kisah bersama tentang kita.


Setelah saat malam, ketika waktu membuktikan kekuatan cinta. Di akhir gelap malam itu, terang akhirnya berbicara lain tentang cinta. Malam mungkin mengukir kebersamaan tetapi terang menegaskan perpisahan kita. Oleh terang yang terlalu cepat, kita telah ditakdirkan untuk berpisah. Dan saat itu, aku tersadar bahwa waktu terlalu sering memastikan sebuah pilihan yang menyakitkan. Aku dan dia hanyalah permainan waktu. Namun, untuk cinta yang terlalu tulus, waktu tidak akan mempermainkanku. Waktu mungkin memisahkan tetapi cinta selalu mengerti setiap kemelut hati. Ia mengerti dan takkan membiarkanku bergumul sendiri. Waktu selalu menegaskan perpisahan tetapi cinta memberi arti pada pergumulan, ketakberdayaan dan perpisahan. Cinta dan waktu adalah bayangan dari tatapanku dan suaramu.


Akhirnya, di tebing waktu ini, oleh cinta yang telah menjadi kekuatan, aku berdoa pada kehidupan, mungkin bagi dunia adalah sebuah ritual tetapi bagi langkahku adalah sebuah dunia yang mengisahkan kehidupan. Waktu bisa saja merenggut kehadiranya dariku tetapi ia takkan pernah merenggut cintanya dari hatiku. Di tebing waktu ini, walau berpisah tetapi tatapanku tetap sama dan suaramu selalu bergaung dalam warna kehidupanku. Di tebing waktu ini, aku menutup mata, merasakan debaran cintamu yang menguatkan dan mengecap manisnya kelembutan suaramu. Aku percaya suatu saat nanti, waktu akan berhenti untuk menjadi saksi cinta aku dan dia. Malam harus berganti menjadi fajar tetapi cintaku padamu taktergantikan. Inilah harapan seorang yang berdiri di tebing waktu. Percayalah, kerapuhan waktu takkan membinasakan cinta dan kebenaran cinta adalah masih ada waktu untuk hatiku dan perasaanmu. Terima kasih untuk kata dalam waktu.

 


Share:

MEMBACA GERAKAN LITERASI NTT DALAM BUKU “HANYA PIKIRAN YANG TIDAK PERNAH TUA,” KARYA GUSTY RIKARNO

Foto: Y. B. Inocenty Loe



Oleh: Y. B. Inocenty Loe

Guru SMA Katolik Giovanni Kupang
Direktur Penerbitan dan Perbukuan, Formatur dan Editor Media Pendidikan Cakrawala NTT

--------------------------------------


Mendiskusikan pendidikan NTT harus memberikan ruang penuh bagi gerakan literasi. Mengapa? Karena literasi memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, secara khusus di NTT. Apalagi, sejak Tahun 2000 hingga saat ini, Studi PISA (The Programme for International Student Assessment) menobatkan Indonesia selalu pada peringkat akhir. Hal ini, jelas menunjukkan bahwa perlu ada perhatian dan evaluasi yang sangat serius terhadap dunia pendidikan. Sebagai bentuk perhatian dan hasil evaluasi, sejak 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang fokus pada peningkatan enam literasi dasar (literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewargaan).


Meskipun secara nasional, Gerakan literasi telah digaungkan, namun harus diakui bahwa di NTT sendiri gerakan literasi itu seperti lorong sunyi dan sepi, begitulah yang ingin disampaikan Gusty Rikarno dalam bukunya, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua.” Oleh karena itu, dalam buku ini, Gusty bercerita tentang perjalanannya menyusuri lorong panjang literasi NTT yang sunyi dan sepi. Bersama Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT, Gusty berkomitmen untuk menggerakan Literasi NTT sekaligus merangkul sebanyak mungkin pengiat literasi untuk bersinergi dan berkaloborasi membangun NTT yang cerdas dan berkarakter. Dalam tulisan ini, saya akan memberikan beberapa catatan terkait buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” karya Gusty Rikarno.


Pertama, membaca buku ini mengingatkan kita akan kisah Abdul Kassen Ismael yang berpergian membawa seratus tujuh belas ribu buku di atas empat ratus Unta. Ia berjalan dari satu kota ke kota lain dengan bukunya. Perjalanan Ismael ini adalah perjalanan membawa cahaya untuk mengubah peradaban dunia. Dan apa yang dibuat Ismael ini mengungkapkan apa yang sedang dibuat oleh Gusty Rikarno yaitu membawa kabar baik tentang literasi dari daerah ke daerah, dari kabupaten ke kabupaten dan dari sekolah ke sekolah. Membaca buku ini menyadarkan kita tentang geliat Gusty dan Cakrawala NTT yang menawarkan sebuah gaya berpikir dan aksi nyata. Ia menekankan bahwa sebuah gerakan literasi harus berujung pada menghasilkan sebuah karya. Tidak bisa hanya terbatas pada seruan dan narasi tetapi harus terungkap dalam aksi dan produk.


Hal ini terbukti ada sekitar 70an sekolah di NTT dampingan Cakrawala NTT yang telah bergerak menuju sekolah aktif literasi dan telah menerbitkan puluhan buku. Ini satu pencapaian dan kerja keras untuk mendorong generasi emas NTT. Dan di tahun 2022 ini kurang lebih ada ratusan sekolah di NTT yang siap untuk bergerak bersama Cakrawala NTT untuk mendorong literasi. Yang menarik adalah bukan karena sekolah ini bergabung dalam gerekan bersama Cakrawala NTT tetapi karena muncul sebuah kesadaran dan motivasi untuk berkaloborasi dan bersinergi untuk meningkatan dan mendorong generasi emas NTT melalui gerekan literasi. Ini yang paling penting.


Kedua, judul buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” terinspirasi dari filsuf Jerman, Hannah Arendt. Arendt menengaskan, “There are no dangerous thoughts thingking it self is dangerrous (Tidak ada yang lebih berbahaya dari pemikiran selain pikiran itu sendiri berbahaya).” Melalui judul tulisan ini, Gusty dalam bukunya ingin mengajak semua masyarakat secara khusus anak-anak muda NTT untuk berpikir secara kritis dan sistematis. Cara berpikir model ini dapat membantu masyarakat NTT untuk keluar dari berbagai persoalan sekaligus mendorong peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di NTT ini. Setiap kali berkunjung dan mendampingi sekolah, Gusty mendorong agar anak-anak muda berpikir secara kritis dan sistematis sekaligus mengungkapkannya dalam sebuah karya tulis.


Dalam hal ini, Gusty membenarkan apa yang terungkap dalam sebuah peribahasa Latin, “Scripta manent verba volant” (apa yang terucap akan berlalu, apa yang tertulis akan mengabadi). Dan memang benar, sebuah gerakan literasi harus menuju sebuah gerakan menulis dan tulisan-tulisan berkualitas itu harus dipublikasikan untuk dibaca oleh semua orang. Ada banyak anak NTT yang hebat namun karya tulisnya berakhir sebagai kertas di tempat sampah. Gusty dan Cakrawala NTT berusaha mewujudkan mimpi anak NTT untuk menerbitkan karya terbaiknya. Jika tidak demikian maka kita perlu waspada pada ketakutan Milan Kundera, seorang Sastrtawan asal Ceko. Ia berkata, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkanlah buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.”


Ketiga, membaca buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” ini membawa pembaca pada kesadaran bahwa tanah NTT ini harus berhenti dan beralih dari sikap memilih orang-orang yang terbaik untuk menghasilkan orang-orang yang terbaik. Harus berhenti memilih dan kedepankan sikap menghasilkan. Buku Gusty ini mengarisbawahi hal ini. Sehingga tidak heran jika Gusty dan Cakrawala NTT berkeliling seantero NTT ini untuk menghasilkan generasi NTT yang terbaik.



*Tulisan ini merupakan materi bedah buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” Karya Gusti Rikarno di Stasiun Radio RRI Kupang pada January 2022.

Share:

MERAWAT KEHIDUPAN, MELUKIS WAJAH BANGSA


Foto: Y. B. Inocenty Loe, S.Fil


Oleh: Y. B. Inocenty Loe, S.Fil

Staf Pengajar SMA Katolik Giovanni Kupang

-------------------------------------


Pada November 2020 lalu, kurang lebih ada 40an guru Sekolah Swasta di Kota Kupang mengikuti pelatihan menulis artikel ilmiah populer yang diinisiasi oleh Badan Musyawarah Perguruan Swasta Provinsi NTT dan dibimbing oleh Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT. Pada momen ini, saya percaya bahwa BMPS NTT dan Cakrawala NTT fokus dan konsen pada peningkatan kualitas pendidikan di NTT. Mengangkat tema pendidikan tidak bisa lepas dari kontribusi dan komitmen para guru. Siapapun pasti yakin bahwa guru merupakan fondasi penting untuk membangun wajah pendidikan yang berkualitas, berprestasi dan berkarakter. Oleh karena itu, BMPS NTT dan Cakrawala NTT menyelenggarakan sebuah pelatihan menulis untuk memperkaya kompentensi para guru dalam mencerdaskan anak bangsa di NTT ini.


Kedua, izinkan saya membacakan sepenggal puisi almahrum Sapardji Djoko Damono. Pada suatu hari nanti// Jasadku tak akan ada lagi// tapi dalam bait-bait sajak ini// Kau takkan kurelakan sendiri. Sepenggal puisi Sapardji Djoko Damano ini secara tersirat mengingatkan kita bahwa menulis itu menghidupkan yang mati dan semua yang akan mati bakal tetap hidup. Ide yang tak diungkapkan akan mati dan tetap mati. Menulis adalah cara mengungkapkan dan menghidupkan ide. Dengan menulis semua yang fana menjadi abadi. Ia menghidupkan sesuatu yang sementara waktu telah mati dan seandainya sesuatu itu akan mati, ia abadi.


Buah dari peningkatan kompentensi guru yang dimotori oleh BMPS NTT dan Cakrawala NTT ini kemudian mendorong lahirnya sebuah buku Antologi Artikel Ilmiah Populer yang berjudul, “Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa”. Buku ini berisi tulisan 39 guru hebat dari sekolah swasta se-Kota Kupang. Dan pada kesempatan ini, izinkan saya mewakili para guru penulis buku, untuk menyampaikan beberapa pandangan, sebagai berikut.


Pertama, pada momen-momen bedah buku seperti ini, mengingatkan saya akan pernyataan dari Saras Dewi, seorang penulis Indonesia. Ia mengatakan, “Di tangan para penulis, kata bukan barisan abjad yang bertujuan tunggal untuk komunikasi belaka. Kata adalah perangkat membingkai kejadian, menghidupkan gagasan dan mengabadikan peristiwa. Kata adalah kehidupan, kisah, juga jati diri manusia itu sendiri.” Memang benar, kata adalah sumber kehidupan. Melalui kata-kata manusia mengenal kehidupan dan merangkai kehidupannya. Harus diakui, bahwa dengan kata-kata, para guru telah melukis wajah bangsa ini. Dan memang benar, kata demi kata yang terungkap dalam buku Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa karya para guru ini mengarisbawahi sebuah perhatian terhadap kehidupan generasi penerus bangsa.


Di tangan para guru, kata demi kata menjelma menjadi komitmen untuk memikirkan, merancang, menyajikan dan mengedepankan sebuah model pembelajaran yang inovatif, kreatif dan memiliki terobosan-terobosan brilian. Buku Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa ini adalah sebuah buku yang berisi tentang strategi pembelajaran yang syarat inovasi dan kreatifitas. Para guru penulis berpikir secara efektif untuk menemukan sebuah tips dan trik yang dapat menyentuh dan mendorong peserta didik untuk belajar dan meraih prestasi. Oleh karena itu, tulisan-tulisan para guru ini harusnya diapresiasi bukan karena telah diterbitkan menjadi sebuah buku, tetapi pada tempat yang paling utama karena tulisan para guru ini lahir dari sebuah komitmen untuk merawat dan melestarikan kehidupan anak-anak bangsa. Para guru ini sebenarnya tidak lagi menulis tentang apa yang terjadi di dalam kelas, tetapi mereka sedang melukis wajah bangsa. Lukisan itu terungkap secara transparan dalam buku ini. Membaca buku ini sama dengan membaca kehidupan sekaligus membayangkan kehidupan yang akan lahir dari inovasi dan kreatifitas pembelajaran yang disajikan para guru di dalam kelas sebagaimana yang terungkap dalam buku ini.


Para guru lewat tulisan-tulisan dalam buku ini sebenarnya sedang merayakan keabadian. Bahwa tubuh memang sirna dilahap waktu. Namun, kata demi kata yang terungkap dalam tulisan pantas untuk menjadi abadi. Para guru penulis ini suatu saat nanti harus mengalah pada waktu, namun dalam tulisan-tulisan, mereka menjadi abadi bahkah terus hidup dalam ruang-ruang pembelajaran. Oleh karena itu, apa yang terukir dalam buku “Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa,” ini harusnya dibaca sebagai sebuah ramuan untuk menjadi abadi. 


Yang abadi dalam tulisan para guru ini adalah sebuah inisiatif dan motivasi untuk berjuang dan berusaha sedapat mungkin dalam melukis wajah bangsa. Sehingga judul buku ini, Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa adalah sebuah instruksi dan ajakan bagi semua guru dan siapa saja untuk terus menanamkan dalam diri suatu kehendak untuk mendidik, mengasah dan mengasuh generasi penerus bangsa yang ada di NTT ini. Harus diakui bahwa judul dan tulisan dalam buku ini lahir dari sebuah dorongan luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kualitas pendidikan, secara khusus di NTT.


Ketiga, Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan peningkatan kompentensi ini memiliki dampak signifikan terhadap gerakan literasi di sekolah-sekolah, secara khusus sekolah asal para guru penulis. Harus disampaikan bahwa yang lahir dalam kegiatan ini bukan hanya tulisan-tulisan yang akhirnya dibukukan. Tetapi mendorong lahirnya penggerak-penggerak literasi yang siap mendobrak sekat-sekat kualitas pendidikan di NTT. 


Kegiatan ini menjadi rahim yang mempersiapkan para guru untuk bertanggungjawab dalam mengerakkan literasi di sekolah-sekolah. Sebagai seorang peserta kegiatan, perkenalan saya dengan gerakan literasi terjadi pada momen peningkatan kompentensi itu. Setelah kegiatan itu, bersama para guru di sekolah, kami mendorong dengan sangat kuat suatu kultur literasi di lingkungan sekolah yang terungkap dalam sebuah pembelajaran literatif, gerakan bersama literasi sampai pada penerbitan buku. Pencapaian-pencapaian ini lahir dalam kegiatan peningkatan kompentensi yang diselenggarakan BMPS NTT dan Cakrawala NTT. 


Pemimpin Umum Cakrawala NTT pernah mengatakan,”Kita harus berhenti mencari dan memilih orang yang terbaik, untuk mencetak dan menghasilkan orang yang terbaik.” Tanah NTT ini hanya akan menjadi yang terbaik jika berhenti memilih orang yang terbaik, untuk mencetak orang yang terbaik. Kegiatan yang diselenggarakan BMPS NTT dan Cakrawala NTT ini berada pada titik ini, untuk mencetak dan menghasilkan orang-orang yang terbaik, yang siap untuk mendorong lahirnya generasi emas NTT.


Kita juga memberikan apresiasi kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Kupang, yang memberikan ruang dan perhatian yang cukup bagi gerekan literasi di NTT ini, secara khusus di sekolah-sekolah. Saya mengikuti bahwa dalam banyak kegiatan kedua kepala dinas ini terus mendorong agar gerakan literasi di sekolah-sekolah dapat bertumbuh subur.


Kita juga harus memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada para kepala sekolah yang telah mengirimkan para guru mengikuti kegiatan tersebut sekaligus menyambut baik segala pikiran, gerakan dan komitmen-komitmen bagi gerakan literasi di sekolah-sekolah. Saya selalu yakin, di balik guru yang inovatif dan kreatif ada dukungan kepala sekolah.


Pada akhirnya kita sepatutunya mengucapkan terima kasih untuk para guru penulis, yang sudah menghasilkan sebuah karya yang berguna bagi dunia pendidikan NTT. Lukisan para guru dalam buku ini, adalah sebuah persembahan bagi NTT. Bahwa NTT memiliki guru-guru tangguh yang menantang batas-batas zona nyaman, untuk menjadi semakin inovatif dan kreatif. Tulisan-tulisan para guru akan hidup dan menjadi abadi dalam ingatan ruang-ruang pembelajaran di kelas. Benar kata Fiersa Basari, “Kematian tidak pernah ada bagi mereka yang tahu caranya menghargai ingatan.” Demikiapun Boy Candra mengingatkan, “Mencintai adalah merawat ingatan, agar tak luka, agar tak lupa.”



*Tulisan ini merupakan materi bedah buku, “Kisah Para Pulukis Wajah Bangsa,” karya Gurur Sekolah Swasta se-Kota Kupang pada January 2022. Pernah dimuat di portal berita Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT pada January 2022.


Share: