Oleh: Y. B.
Inocenty Loe, S. Fil
Staf pengajar SMAK Giovanni Kupang, Editor
dan Formatur Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT
Apa yang terberi, seperti angkasa yang rapuh oleh bintang di malam
hari. Jika pemberian itu adalah kerapuhan yang diisi di dalam kebaikan, jiwa
ini adalah bukti kekudusan, yang dimengerti dunia sebagai sepengal mozaik,
cerita Tuhan di dalam penderitaan. Mozaik ini, oleh iman dihayati sebagai
bejana tanah liat yang bisa saja rapuh dan kita terperangkap di dalam rasa yang
sama yaitu perjuangan.
Aku diam. Mata
menatap kosong dan hati merenung. Aku hanya tak mengerti apa itu kata di dalam
waktu. Apakah itu, dialog sepi? Yah, bisa saja, waktu adalah nyanyian hari yang
mengingatkanku akan kata yang kau ucap. Jika pada samudera, ada keheningan yang
takterbatas maka di tepian lautan aku mendengar kisah cinta Tuhan bagi hidupku.
Yaitu di saat kata tak sanggup mengucapkan doa, ciuman lautan pada pasir
mengigatkanku akan jiwa yang disapa roh, sang kudus. Atau seperti lautan yang
tak mengering bahkan mempersempit daratan, aku menemukan keegoisan diri di
dalam kerinduan akan Tuhan. Misteri kata yang terucap di dalam waktu, mungkin
hanyalah lumpur pada tembok, tak menghancurkan tetapi memberi bekas. Dan untuk
itulah aku ditakdirkan. Untuk memahami kata dalam waktu bukan sebagai fakta
duniawi tetapi sebagai ekspresi terbatas dari yang takterbatas. Kata di dalam
waktu adalah ciuman tak tersentuh antara aku dan engkau.
Mungkin benar bahwa kau keliru memahami diriku, tetapi setidaknya, kata yang
telah terucap di dalam waktu mampu membuatmu mengerti, seperti suara burung
gereja menyadarkanmu dari buaian ketaksadaran. Dan ketika kesadaranmu adalah
tentang kegelisahan yang sempat mencuat di dalam mimpi karena takut kehilangan
diriku, izinkanlah aku mengukirnya bukan di dalam lembaran berdebu tetapi di
sini, di hatiku. Sebab untuk itulah aku hadir bagi dirimu, bukan untuk menyapamu
dalam nama diri tetapi dalam nama keabadian waktu, yang oleh udara disebut
sebagai cinta tanpa berhenti berhembus. Aku adalah Tuhan yang memelukmu di
dalam keterbatasan dan kelemahan manusiawi. Dan lagi-lagi, oleh cinta yang
dititipkan Tuhan, aku hanya punya seulas senyum yang dapat kuberikan untuk
dirimu. Itulah cintaku, yang terbatas dari yang tak akan pernah terbatas.
Yang terbatas
adalah diriku tetapi Tuhan adalah ketakterbatasan. Padanya, aku mencintaimu
dengan cara yang terbatas. Bukan lagi dalam hidup yang pasti berakhir tetapi di
dalam kematian yang tak pernah berujung. Jika cintaku padamu, adalah dunia
kematian yang tak ada kematian, maka izikanlah kukecup dirimu di kehidupan ini
dan biarkan membekas hingga tanganmu kugenggam di dalam pelukan Tuhan. Aku yang
pernah menyakiti hatimu, itu karena aku adalah pencinta ilahi yang terperangkap
di dalam kemanusiaan. Memelukmu di dalam kefanaan tubuh dan mencintaimu di
dalam keterbatasan jiwa.
Seandainya aku
adalah waktu, biarkan kuukir kata di dalam diriku dan ketika pagi
membangunkanmu, kau akan tetap mengingat diriku di setiap saat dalam hidupmu.
Seandainya engkau adalah kata di dalam waktu itu, aku hanya punya telinga yang
tidak sanggup mendengar dan mata yang tidak sanggup menengok tetapi aku punya hati
yang akan tetap mencintaimu di dalam sekian terbatasnya tubuh mengungkapkan
ekspresi. Biar aku adalah rasa yang terbatas tetapi aku akan selalu membisikan
cinta di dalam cerita hidupmu dan mengukir di hatimu dari lumpur hidupku. Kau
adalah Tuhan yang menyapaku di dalam kemanusiaanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar