MEMBACA GERAKAN LITERASI NTT DALAM BUKU “HANYA PIKIRAN YANG TIDAK PERNAH TUA,” KARYA GUSTY RIKARNO

Foto: Y. B. Inocenty Loe



Oleh: Y. B. Inocenty Loe

Guru SMA Katolik Giovanni Kupang
Direktur Penerbitan dan Perbukuan, Formatur dan Editor Media Pendidikan Cakrawala NTT

--------------------------------------


Mendiskusikan pendidikan NTT harus memberikan ruang penuh bagi gerakan literasi. Mengapa? Karena literasi memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, secara khusus di NTT. Apalagi, sejak Tahun 2000 hingga saat ini, Studi PISA (The Programme for International Student Assessment) menobatkan Indonesia selalu pada peringkat akhir. Hal ini, jelas menunjukkan bahwa perlu ada perhatian dan evaluasi yang sangat serius terhadap dunia pendidikan. Sebagai bentuk perhatian dan hasil evaluasi, sejak 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang fokus pada peningkatan enam literasi dasar (literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewargaan).


Meskipun secara nasional, Gerakan literasi telah digaungkan, namun harus diakui bahwa di NTT sendiri gerakan literasi itu seperti lorong sunyi dan sepi, begitulah yang ingin disampaikan Gusty Rikarno dalam bukunya, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua.” Oleh karena itu, dalam buku ini, Gusty bercerita tentang perjalanannya menyusuri lorong panjang literasi NTT yang sunyi dan sepi. Bersama Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT, Gusty berkomitmen untuk menggerakan Literasi NTT sekaligus merangkul sebanyak mungkin pengiat literasi untuk bersinergi dan berkaloborasi membangun NTT yang cerdas dan berkarakter. Dalam tulisan ini, saya akan memberikan beberapa catatan terkait buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” karya Gusty Rikarno.


Pertama, membaca buku ini mengingatkan kita akan kisah Abdul Kassen Ismael yang berpergian membawa seratus tujuh belas ribu buku di atas empat ratus Unta. Ia berjalan dari satu kota ke kota lain dengan bukunya. Perjalanan Ismael ini adalah perjalanan membawa cahaya untuk mengubah peradaban dunia. Dan apa yang dibuat Ismael ini mengungkapkan apa yang sedang dibuat oleh Gusty Rikarno yaitu membawa kabar baik tentang literasi dari daerah ke daerah, dari kabupaten ke kabupaten dan dari sekolah ke sekolah. Membaca buku ini menyadarkan kita tentang geliat Gusty dan Cakrawala NTT yang menawarkan sebuah gaya berpikir dan aksi nyata. Ia menekankan bahwa sebuah gerakan literasi harus berujung pada menghasilkan sebuah karya. Tidak bisa hanya terbatas pada seruan dan narasi tetapi harus terungkap dalam aksi dan produk.


Hal ini terbukti ada sekitar 70an sekolah di NTT dampingan Cakrawala NTT yang telah bergerak menuju sekolah aktif literasi dan telah menerbitkan puluhan buku. Ini satu pencapaian dan kerja keras untuk mendorong generasi emas NTT. Dan di tahun 2022 ini kurang lebih ada ratusan sekolah di NTT yang siap untuk bergerak bersama Cakrawala NTT untuk mendorong literasi. Yang menarik adalah bukan karena sekolah ini bergabung dalam gerekan bersama Cakrawala NTT tetapi karena muncul sebuah kesadaran dan motivasi untuk berkaloborasi dan bersinergi untuk meningkatan dan mendorong generasi emas NTT melalui gerekan literasi. Ini yang paling penting.


Kedua, judul buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” terinspirasi dari filsuf Jerman, Hannah Arendt. Arendt menengaskan, “There are no dangerous thoughts thingking it self is dangerrous (Tidak ada yang lebih berbahaya dari pemikiran selain pikiran itu sendiri berbahaya).” Melalui judul tulisan ini, Gusty dalam bukunya ingin mengajak semua masyarakat secara khusus anak-anak muda NTT untuk berpikir secara kritis dan sistematis. Cara berpikir model ini dapat membantu masyarakat NTT untuk keluar dari berbagai persoalan sekaligus mendorong peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di NTT ini. Setiap kali berkunjung dan mendampingi sekolah, Gusty mendorong agar anak-anak muda berpikir secara kritis dan sistematis sekaligus mengungkapkannya dalam sebuah karya tulis.


Dalam hal ini, Gusty membenarkan apa yang terungkap dalam sebuah peribahasa Latin, “Scripta manent verba volant” (apa yang terucap akan berlalu, apa yang tertulis akan mengabadi). Dan memang benar, sebuah gerakan literasi harus menuju sebuah gerakan menulis dan tulisan-tulisan berkualitas itu harus dipublikasikan untuk dibaca oleh semua orang. Ada banyak anak NTT yang hebat namun karya tulisnya berakhir sebagai kertas di tempat sampah. Gusty dan Cakrawala NTT berusaha mewujudkan mimpi anak NTT untuk menerbitkan karya terbaiknya. Jika tidak demikian maka kita perlu waspada pada ketakutan Milan Kundera, seorang Sastrtawan asal Ceko. Ia berkata, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkanlah buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.”


Ketiga, membaca buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” ini membawa pembaca pada kesadaran bahwa tanah NTT ini harus berhenti dan beralih dari sikap memilih orang-orang yang terbaik untuk menghasilkan orang-orang yang terbaik. Harus berhenti memilih dan kedepankan sikap menghasilkan. Buku Gusty ini mengarisbawahi hal ini. Sehingga tidak heran jika Gusty dan Cakrawala NTT berkeliling seantero NTT ini untuk menghasilkan generasi NTT yang terbaik.



*Tulisan ini merupakan materi bedah buku, “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua,” Karya Gusti Rikarno di Stasiun Radio RRI Kupang pada January 2022.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar