Oleh: Pauline Parera
Siswi SMA Katolik Giovanni Kupang
XI IPS 1
------------------------------------------------------
Sore itu, untuk pertama kalinya
kita bertemu kembali setelah lama tak bertemu. Mata yang teduh itu akhirnya
kembali menatapku nanar tanpa arti.
"Akhirnya kamu datang",
suara yang serak itu akhirnya bersuara setelah 15 menit membisu; ah aku sangat
merindukan suara itu.
"Apa yang hendak kamu
bicarakan, Semesta?", aku bertanya meskipun sudah tahu apa yang ingin
dibicarakannya. Nama yang indah
bukan?
Ya, dia Semesta, seorang pria
yang kutemui dengan mata yang teduh, tangan yang hangat saat merangkul,
suaranya yang serak dan khas, rambut ikalnya yang ku tahu dia tidak pernah
menyisir rambut itu, serta cara menatap yang tajam sekaligus meneduhkan siapa
pun yang melihatnya.
"Singkat saja, dan pastinya
kamu sudah mengetahui itu, Nona Alam", sudah kuduga hal itu yang akan
menjadi topik pembahasan kita kali ini.
"Semesta, apa kamu yakin
keputusanmu ini?"
"Sangat yakin Nona
Alam"
"Baiklah akan kuhargai itu,
Semesta", air mata lantas jatuh dari mataku.
Kupejamkan mata sebentar namun
tiba-tiba Gelap, semua gelap. Sunyi tanpa suatu suara pun.
Saatku buka mataku, dimana dia?
Semesta? Bukannya tadi dia berada di depanku?
Lupakan itu sejenak, sekarang
dimana aku? Mengapa semua gelap dan sunyi? Aku berteriak sekuat tenaga,
memanggil siapa pun yang aku kenal, bahkan suaraku sampai tercekat.
"Semesta, semesta, tolong aku,
jangan tinggalkan aku sendiri", Teriakku sekuat tenaga yang masih tersisa
; Lenggang, semuanya tetap sama, gelap dan sunyi.
Aku terduduk dengan tatapan
kosong, ku ingat kembali dia yang menjadi alasan aku selama ini bahagia. Pertemuan
pertama kami sebagai orang asing dan apakah pertemuan terakhir kami juga
sebagai orang asing? Pertanyaan yang selama ini kutakutkan menjadi
kenyataan. Aku selalu belajar banyak hal
dari dia; kesabarannya, ketegasannya, cara dia berdebat, cara dia bercerita,
cara dia menyelesaikan suatu masalah ; dan semua itu aku belajar dari dirinya.
Sekali lagi, air mata terus jatuh, namun aku tidak mempunyai tenaga untuk
meraung dan meneriakkan namanya.
Bangun, hal itu yang harus
kulakukan sekarang. Aku memaksa bagaimana pun caranya agar bisa bangun dan
berjalan.
Kalian tahu rasanya berjalan
dalam kegelapan dan kesunyian? Hal itu sangat mengerikan, aku selalu takut apa
yang berada di depan sana, aku takut terjatuh, bahkan aku hampir ingin
menyerah.
Berjalan dan terus berjalan,
entah sudah berapa lama ini? satu bulan? dua bulan? atau tiga bulan? Sudah
tidak kuhitung lagi.
Hingga aku melihat ada suatu
titik cahaya di depan sana, langsung kuberlari agar bisa sampai disana
secepatnya. Namun, saat hendak sampai disana aku mendegar; "you know people always come and go, nona
alam".
Suara itu? Tangisanku pecah.
Semesta, aku merindukannya. Di mana dia? Kuteriaki sekali lagi namanya dengan
sisa tenagaku, namun nihil, semesta tidak muncul.
Aku kembali berlari ke titik cahaya
itu, jatuh bangun tetap aku berlari hingga cahaya itu semakin membesar dan
terus membesar hingga mataku terbuka. Aneh, satu kata yang muncul dalam
benakku.
Tempat di sore hari itu
terpampang jelas di hadapanku. Pohon yang sama, kursi taman yang masih pada
tempatnya, semuanya masih sama sebelum aku masuk ke dalam ruangan gelap dan
sunyi itu. Hingga aku menyadari bahwa baru saja ada yang melewatiku. Semesta,
itu dia, apa yang terjadi? Apa semuanya hanya halusinasi? Imajinasi? Mimpi?
Kenapa di dunia ini rasanya baru sedetik aku memejamkan mata? Segera
kusingkirkan pertanyaan - pertanyaan itu dan lekas berbalik untuk memanggil Semesta.
Namun, apa yang kudapati?
Ya, Semesta sedang berjalan ke
arah seorang gadis, yang kulihat sepertinya dia sedang menunggu? Menunggu
pembicaraanku dan Semesta selesai?
Gadis itu terlihat cantik dengan
senyum nya yang manis dan menatap ke arahku. Aku bahkan tersenyum seperti
tersihir dengan senyuman gadis itu. Ah itu dia, Bahagianya Semesta. Semesta
terus berjalan ke arah gadis itu dengan wajah yang ceria, aku rasa, aku sudah
tidak dianggapnya masih di sini ; Gadis itu melambaikan tangan ke arahku dan
mereka berjalan begitu saja. Dan aku? Aku terus menatap mereka sampai punggung
mereka tidak terlihat.
Sendiri, ya aku berdiri sendiri
di sini. Menatap ke atas awan yang masih terus bergerak, menatap orang-orang
yang berjalan tak jauh dariku. Dan kusadari satu hal, dunia tidak akan berhenti
ketika kita kehilangan seseorang, justru dunia akan berhenti jika kita kehilangan
diri sendiri. Sudah kukatakan bukan? Semesta menjadi orang yang memberikanku
banyak pelajaran dari awal pertemuan hingga saat ini, bahwa kunci untuk
mengakhiri kesedihan tentang perpisahan adalah keikhlasan. Kini di tempat ini
aku mengikhlaskanmu.
Semesta! Berbahagialah terus
Semesta-ku!
Saksikan juga:
Karya peserta didik SMAN 2 Aesesa Kabupaten Nagekeo
Paulinee suksess selaluuu🥰😍😘
BalasHapusJadilah nona alam yg bersahabat dgn semesta
BalasHapuspauuuu💗💗
BalasHapus