Oleh: Fransiska Tania Reweng
Part 1: Untukmu “Yang Pertama”
Rindu itu seperti hujan, mulanya gerimis. Perlahan tapi pasti, lembut jatuhnya, merasuk
ke dalam kalbu. Titik demi titik jatuh menetes, makin lama makin banyak dan dengan deras membanjiri bumi. Sesaat kemudian ia
berhenti dan mengering di permukaan tanah, airnya masuk dan meresap ke dalam
bumi.
Adakah kau bertanya, seberapa banyak dan
derasnya kau jatuh di sini? Ibarat kau hujan, dan akulah bumi. Tak peduli
seberapa banyak dan derasnya kau jatuh, kau pun tak dapat menghitungnya. Aku
pun juga, tak peduli seberapa banyak dan derasnya kau jatuh padaku.
Mulanya perlahan dan lembut kau menyentuh, lalu
kemudian dengan derasnya kau mengepung bak pasukan tentara yang tak kehabisan
amunisi, terus menembakiku. Dengan tabah aku menerimamu, kau masuk dan merasuk
kalbuku. Kejamkah itu? Tidak!. Aku tidak mengatakan bahwa itu kejam. Justru itu
semua menjadikan aku hidup dan memberi makna bagi segala sesuatu yang lain.
Memang, sakit bila ketiadaanmu. Dan justru
ketiadaanmu itulah membuat hati gersang, bahkan runtuh, hancur
berkeping-keping.
Rasanya berat menanggungmu, tapi apa boleh buat?
Aku tak mungkin lari menghindar darimu, sebab kau ditakdirkan untuk jatuh di
sini. Tidak mungkin juga kau kembali ke atas.
Seperti itulah rindu bermula. Mulanya gerimis.
Kemudian gerimis menjadi hujan.
Semakin banyak kau jatuh, semakin berat aku
menanggungmu.
Kau adalah sesuatu yang menyetuh memberi rasa di
hatiku. Kau adalah rindu. Kau adalah alasanku mau menanggungmu. Kau memang
berat, tapi kau adalah kebutuhan yang tak pernah ada habisnya.
Dan sebenarnya aku dan kau memang begitu, saling
membutuhkan. Ketiadaan satu di antara kita, adalah kehilangan untuk
semuanya. Bahkan Tuhan selalu mempertemukan kita di musim yang tepat, dan di
waktu yang sama, kita bertemu. Entah mengapa Tuhan harus jatuhkan kau di sini,
di hatiku.
Di matamu itu kupandang dan kutemukan
sesuatu ada di sana. Semacam embun. Tetapi lebih dalam aku memandang. Oh,
ternyata ada gerimis di matamu. Ijinkan aku menatapnya sekadar memandang saja.
Kalau pun lebih dari itu, jadilah milikku. Gerimis itu, jadilah milikku.
Part 2: Kepada Sahabat
Hari sudah pagi, tapi gerimis masih terus
mengguyur. Membuat
aku semakin nyaman berguling dalam selimut yang hangat. Aku mencoba bangun dan berusaha melawan
dinginnya pagi. Lalu duduk sambil termenung memandang gerimis itu. Tak sadar aku terbawa dalam lamunan
pagi. Yang mulanya aku pandang gerimis, kini berubah menjadi hujan.
Dalam hati aku berpikir
“mengapa setiap kali hujan turun aku terus mengingat kenangan saat bersama
kalian?”. Aku rindu akan pelukan hangat kalian, aku rindu saat-saat kita
tertawa riang, sangat bahagia bukan?
Aku ingin mengulang semua
itu tapi aku rasa tidak akan mungkin. Itu semua hanya kenangan yang telah
terlewatkan. Sekarang kita telah terpisah oleh jarak dan dibatasi oleh lautan
yang luas dan dalam.
Menjengkelkan, tapi apa boleh buat, hanya rasa rindu yang
menumpuk dan tidak tahu kapan harus diungkapkan.
Karena aku sendiri tidak tahu kapan pertemuan itu
akan terjadi. Pertemuan yang sangat aku tunggu-tunggu.
Kutitipkan rinduku lewat
hujan. Semoga kita bisa bertemu lagi nanti.
Jadilah rinduku yang paling sungguh, jangan jadi
semu. Aku menginginkan itu. Kesungguhan.
BIODATA PENULIS
Nama:Fransiska Tania Reweng
TTL: Jere, 24 Januari 2007
Umur:16 tahun
Hobi: Olahraga
Cita-cita: Dokter
Semangat anak molas
BalasHapusSemangat anak sayang
BalasHapus